Menurut
H.J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud (1985), Sunan Kudus yang bernama
Ja’far Shadiq adalah salah satu imam masjid Kerajaan Demak. Dalam berita
tradisi dituturkan bahwa Masjid Demak pernah memiliki lima orang imam,
dua di antaranya adalah Pengulu Rahmatullah dari Undung (sering dikenal
dengan sebutan Sunan Ngudung) dan Sunan Kudus. Sunan Kudus adalah putera
dari Sunan Ngudung dari perkawinannya dengan Syarifah yang dikenal
sebagai cucu Sunan Ampel (Wiranto dan Saworiyanto). Dalam Hikayat Hasanuddin
disebutkan bahwa ayah dan anak ini dikenal sebagai ahli agama dan
penyebar agama Islam yang gigih. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq adalah
ulama besar, yang bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah
Kudus, Jawa Tengah.
Beliau
lahir pada pertengahan abad XV TU atau IX H. Ayahnya bernama Raden
Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, Blora. Beliau
masih mempunyai garis keturunan dengan Husein bin Ali. Kakek Sunan Kudus
adalah saudara Sunan Ampel, sehingga masih ada hubungan pertalian darah
(Ensiklopedi Islam, 1985).
Menurut
De Graaf dan Pigeaud, Sunan Kudus adalah imam kelima Masjid Demak pada
akhir masa Sultan Trenggana dan pada awal masa Sultan Prawata. Masih
menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Kudus pindah dari Demak dan
“mendirikan” Kota Kudus setelah ada perbedaan pendapat dengan Sultan
Demak dalam penentuan tanggal awal bulan Puasa.
Belum
jelas kapan persisnya Ja’far Shadiq tiba di Kudus. Pada waktu Jafar
Shadiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut
penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan Tajug adalah
Kyai Telingsing, yaitu sebutan orang Jawa kepada The Ling Sing seorang
Cina beragama Islam (Salam, 1977).
Cerita
ini menunjukkan bahwa pemukiman itu sudah ada sebelum kedatangan Ja’far
Shadiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shadiq merupakan
penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shadiq
mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang
menafsirkan, jamaah Ja’far Shadiq itu merupakan para santri yang
dibawanya dari Demak (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Mereka
sekaligus juga prajurit yang ikut bersama-sama Ja’far Shadiq memerangi
Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga
setempat yang bekerja dengan Ja’far Shadiq untuk menggarap tanah ladang.
Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shadiq mula-mula hidup dari
penghasilan menggarap lahan pertanian (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah mengadakan acara bedhug dhandhang,
berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang
para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh bedug bertalu-talu. Setelah
jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari
pertama puasa (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Sekarang ini, acara bedhug dhandhang
masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,
banyak orang datang ke areal masjid. Akan tetapi, mereka bukan hendak
mendengakan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai panganan
yang dijajakan para pedagang musiman (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Dalam
cerita tutur yang masih hidup di kalangan masyarakat antara lain
dikatakan, bahwa pada zaman dahulu Sunan Kudus pergi haji serta bermukim
di sana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis (Jawa: gudigen),
sehingga oleh kawan-kawan beliau Sunan Kudus dihina, tetapi karena
kesaktiannya, timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan
berjangkitnya wabah penyakit. Wabah itupun menjadi reda kembali karena
dihentikan oleh Sunan Kudus. Atas jasa beliau, amir dari Negeri Arab itu
pun berkenan untuk memberikan hadiah kepada beliau sebagai pembalas
jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apa pun
juga. Beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang-kenangan yang akan
dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus (Solichin,
1977).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar