Sunan
Kalijaga adalah putera dari Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban.
Tumenggung Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang sudah beragama
Islam dan berganti nama menjadi Raden Sahur, sedangkan ibunya bernama
Dewi Nawangrum.
Sunan
Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an TU. Semasa mudanya Sunan
Kalijaga mempunyai nama Raden Sa’id atau lebih dikenal dengan Jaka
Sa’id. Sunan Kalijaga diceritakan hidup dalam empat era dekade
pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478 TU), Kasultanan Demak
(1481-1546 TU), Kasultanan Pajang (1546-1568 TU), dan awal pemerintahan
Mataram (tahun 1580-an TU).
Kisah
masa muda Raden Sa’id ada dua versi. Menurut versi pertama, pada waktu
masih kecil Raden Sa’id sudah disuruh mempelajari agama Islam oleh
ayahnya di Tuban. Akan tetapi, karena ia melihat kondisi lingkungan yang
kontradiksi dengan ajaran agama itu, maka jiwa Raden Sa’id memberontak.
Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya sengsara, sementara bangsawan
Tuban hidup berfoya-foya. Pejabat kadipaten menarik upeti kepada rakyat
miskin dengan semena-mena dan para prajurit kadipaten menghardik rakyat
kecil dengan sewenang-wenang. Ketika ia tidak tahan lagi melihat
penderitaan orang-orang miskin pedesaan, maka pada waktu malam, ia
sering mengambil sumber bahan makanan dari gudang kadipaten dan
memberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002: 74).
Lama
kelamaan tindakan Raden Sa’id itu diketahui oleh ayahnya, sehingga ia
mendapat hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya
mengembara tanpa tujuan yang pasti. Ia kemudian menetap di hutan
Jatiwangi. Di hutan itu, ia menjadi seorang yang berandal. Ia merampok
orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil dan hasil rampokannya
diberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002:78).
Versi
kedua menyatakan bahwa Raden Sa’id benar-benar seorang yang nakal sejak
kecil dan kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka
merampok dan membunuh tanpa segan. Ia berjudi ke mana-mana. Setiap habis
botoh-nya ia merampok kepada penduduk. Selain itu digambarkan
Raden Sahid adalah seorang yang sangat sakti. Karena kesaktianya beliau
mendapat julukan berandal Lokajaya (Marsono, 1996).
Pada
suatu ketika, Lokajaya merampok Sunan Bonang di hutan. Namun, ia
bertekuk lutut sebab Sunan Bonang sangat sakti. Dia lalu berguru kepada
Sunan Bonang. Setelah mendapat ilmu dari Sunan Bonang, beliau pulang ke
Tuban, akan tetapi ayahnya menolak kehadirannya.
Raden
Sa’id kemudian kembali kepada Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menyuruh
Raden Sa’id untuk bertapa. Setelah bertapa, dia diberi pelajaran ilmu
agama oleh Sunan Bonang. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam
sebuah perahu berwarna putih. Perahu itu dikatakan sebagai pemberian
Nabi Khidir. Setamat Sunan Bonang memberi pelajaran pada Raden Sa’id,
beliau memberi Raden Sa’id gelar Sunan Kalijaga.
Jalan
hidup sunan ini tercantum dalam berbagai naskah kuna dengan versi yang
berbeda-beda pula. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.
Ada yang menyatakan asalnya dari kata jaga dan kali. Versi
ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang
selama tiga tahun di tepi sungai. Pengertian ini umumnya disebut di
dalam babad, misalnya Babad Banten, Babad Tanah Jawi, Babad Tanah Djawi jilid II, dan Babad Demak.
Ada juga yang menulis, kata Kalijaga berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Di dalam Babad Cirebon
diceritakan, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon,
persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 km arah selatan kota. Pada awal
kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid
Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung
Jati.
Dalam
pertemuan itu dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati sengaja menguji Sunan
Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat
orang mengambil wudhu. Sunan Kalijaga sendiri tidak kaget mengingat
ajaran Sunan Ampel, ‘’ojo gumunan lan kagetan ‘’ yang artinya
jangan mudah heran dan terkejut. Selanjutnya, Sunan Kalijaga menyulap
emas tersebut menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak
bagi orang yang berwudlu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Beliau
pun kemudian menganugerahkan adiknya, Siti Zaenab, untuk diperisteri
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon selama
beberapa tahun.
Dalam
perjalanan hidupnya selanjutnya, Sunan Kalijaga diceritakan mengembara
sampai ke Bintoro, Demak. Beliau sangat gigih membantu perjuangan Sultan
Fatah dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai
Utara Jawa. Raden Fatah adalah pendiri kerajaan Islam di Demak pasca
keruntuhan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V. Sebagai
imbalan atas bantuan yang diberikan oleh Sunan Kalijaga, Sultan Fatah
memberikan bumi Kadilangu sebagai tanah perdikan kepada Sunan Kalijaga.
Di
Kadilangu, daerah Demak, Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir
hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan
rumah tangga. Isteri Sunan Kalijaga yang disebut-sebut hanyalah Dewi
Sarah, puteri Maulana Ishaq. Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah mempunyai
tiga orang putera yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Ruqayah dan
Dewi Sofiah.
Sunan
Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal karena kesaktian
dan kecerdasannya. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja
beberapa kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai
budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat. Cara beliau
berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia dengan
berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam mempraktikkan pengajaran
syariat Islam banyak dicampuri dengan unsur-unsur adat lama dan
cenderung berkompromi dengan kepercayaan pra Islam, misalnya melalui
wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik.
Sunan
Kalijaga terkenal pandai mendalang. Sebagai dalang, Sunan Kalijaga
dikenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Sunan Kalijaga mengarang
lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pagelaran-pagelaran wayang kulit
dengan upah berupa Jimat Kalimasada atau ucapan Kalimat
Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang biasanya untuk
meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan asal yang memanggil itu mau
bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. (Siswoharsoyo,
1957).
Ketika
mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon
yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata
yang bernuansa Hindu, melainkan menggubah beberapa lakon wayang untuk
keperluan dakwah Islam. Kisah-kisah ciptaan Sunan Kalijaga ini di
antaranya adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, dan Petruk Dadi Ratu. Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari Kalimat Syahadat. Lakon Jimat Kalimasada inilah
yang paling sering dia pentaskan. Dengan lakon ini Sunan Kalijaga
mengajak orang-orang untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk
masuk agama Islam. Lakon Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir
(Siswoharsoyo, 1957).
Ahli
sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran
Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang beber berupa kain bergambar
kisah pewayangan. Sunan Kalijaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber
menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan
yang bisa digerakkan. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging
di atas kulit kerbau. Bentuknya dikembangkan dan disempurnakan pada era
kejayaan Kerajaan Demak.
Pada
mulanya penggambaran tokoh wayang yang mirip manusia dinilai
bertentangan dengan syara’ oleh sebagian ulama. Para wali, terutama
Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah menjadi lukisan
yang menghadap ke samping. Dahulu sebelum memakai pahatan pada bagian
mata, telinga, perhiasan, dan lain-lainnya, wayang hanya digambar saja.
Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan bentuk manusia
sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud
wayang melanggar hukum Islam. Selain itu, atas saran para wali, Sunan
Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong sebagai
tokoh Punakawan yang lucu. Kadangkala, ia menggunakan tokoh Bancak dan
Doyok (Efendy Zarkasi, 1977: 28-29).
Ada peneliti yang mengatakan bahwa Semar dari kata Arab simaar atau ismarun
artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak,
kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain yakni Ismaya, yang
berasal dari kata asma-ku atau simbol kemantapan dan keteguhan. Adapun
maksudnya adalah ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya
tertancap sampai mengakar. Tokoh Panakawan lain yakni anak Semar, Nala
Gareng. Kata nâla qarîn artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini
serupa dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat
dan mengajak mereka menyembah Allah swt (Endraswara, 2003: 105).
Di samping terus menyebarkan kebaikan, umat Islam juga harus mampu seperti tokoh Petruk dan Bagong. Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau nahi munkar. Bagong berasal dari kata baghâ
yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan
buruk, benar dan salah. Harus berani melawan siapa pun yang zalim
(Endraswara, 2003: 105).
Selanjutnya
disebutkan bahwa bentuk wayang dilengkapi dengan hiasanhiasan seperti
kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang keroncong (gelang kaki),
anting telinga, badong (hiasan pada pinggang), dan jamang (hiasan pada
kepala). Penyempurnaan bentuk ini dilakukan oleh Sunan Giri, sedangkan
yang mengarang lakon wayang dan suluknya adalah Ratu Tunggal di Giri
tatkala mewakili Istana Demak tahun 1478 Çaka. Dimulainya wayang pahat
bergaris-garis gambir (garis-garis lembut pada rambut misalnya) itu
adalah atas perintah Raden Trenggana Kemudian pada zaman Jaka Tingkir,
Sultan Hadiwijaya Raja Pajang, wayang dipahat gayaman, tetapi tangan
masih sambung dengan badan. Wayang ditatah halus benar sejak jaman
Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Mataram tahun 1541
Çaka (Zarkasi, 1977: 29-30).
Sunan Kalijaga juga melakukan dakwah melalui kidung. Kidung Rumeksa ing Wengi merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam “kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Dakwah itu dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dhandhanggula
dan seolah-olah abadi sampai saat ini. Hingga saat ini, orang-orang
pedesaan masih banyak yang hapal dan mengamalkan syair kidung ini.
Sebagai warisan kepada anak cucu, nasihat dalam bentuk tembang lebih
langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal penggubahnya, kidung ini
telah menjadi milik rakyat.
Fungsi kidung Rumeksa ing Wengi ini bagi rakyat Jawa adalah : (a) penolak bala di malam hari, seperti teluh, tenung, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan bilahi;
(b) pembebas semua denda; (c) penyembuh penyakit, termasuk gila; (d)
pembebas bencana; (e) mempercepat jodoh; (f) doa menang perang; (g)
penolak hama tanaman; (h) memperlancar mencapai cita-cita luhur. Nafas
dakwah yang tersurat dalam kidung tersebut adalah (a) disebutnya nama
Allah, malaikat, rasul dan nabi-nabi, serta keluarga dan para sahabat
Nabi Muhammad seperti Baginda Ali, Usman, Abu Bakar, Umar, Aminah dan
Fatimah; (b) disebutnya istilah-istilah seperti puasa, subuh, sabar,
subur, syukur, insya Allah, dzat, malaikat, nabi, rasul, dan syara’.
Jadi secara maknawi kidung ini merupakan dakwah Islam yang sangat
kental yang membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah guru spiritual
rakyat Jawa. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai pencipta tembang Ilir-ilir yang masih populer hingga saat ini. Adapun syairnya sebagai berikut :
Ilir-ilir
Ilir-ilir tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
bocah angon penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Terjemahan :
Ilir-ilir
Ilir-ilir tanaman sudah bersemi
tampak menghijau ibarat penganten baru
wahai penggembala panjatlah blimbing itu
meski licin panjatlah untuk mencuci kain
kain yang sedang robek pinggirnya
Jahitlah dan tamballah untuk
menghadap nanti sore
mumpung bulan terang dan lebar tempatnya.
Lagu Ilir-ilir
di atas, memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan
amal kebaikan, amal itu berguna untuk bekal di hari akhir. Kesempatan
hidup di dunia ini harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan. Jangan
hendak membunuh nanti akan berganti dibunuh. Pada intinya semua yang
dilakukan manusia itu ada balasannya.
Cara
dakwah Sunan Kalijaga yang lain adalah melalui bidang karawitan. Hal
ini diketahui dari gamelan yang diduga sebagai peninggalan Sunan
Kalijaga. Gamelan-gamelan ini diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan
Kanjeng Kyai Madu. Kini, gamelan-gamelan, yang dikenal sebagai gamelan
Sekaten, itu disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasunanan
Surakarta, seiring dengan berpindahnya Islam ke Mataram (Handoko, 2001).
Sunan
Kalijaga juga mengganti puja-puji dalam sesaji yang biasa dilakukan
umat Hindu pada waktu itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci
al-Quran. Di awal syiarnya, Sunan Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok
desa. Menurut catatan Husein Jayadiningrat, Sunan Kalijaga berdakwah
hingga ke Palembang dan Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid
Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris.
Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di Palembang itu tidak meninggalkan
catatan tertulis. Setelah beberapa lama di Palembang, Sunan Kalijaga
diperintahkan balik ke Jawa oleh Syeh Maulana Maghribi. Babad Cirebon menceritakan, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.
Sunan Kalijaga adalah seorang sufi yang ajaran-ajarannya diikuti oleh para penguasa waktu itu. Sunan Kalijaga mengajarkan sikap narima ing pandum yang diurainya menjadi lima sikap yakni rela, narima, temen, sabar dan budi luhur . Kelima sifat itu sebenarnya bersumber dari ajaran agama Islam yakni : rela dari ridha atau ikhlas, narima dari qana’ah, temen dari sifat amanah, sabar dari kata shabar, dan budi luhur adalah al-akhlak al-karimah. Tentang budi luhur, kata budi
berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti kemampuan, atau
kecerdasan otak (Gonda, 1925: 56). Salah satu ciri satria utama adalah alus ing budi. Demikian pula budi pekerti luhur syarat untuk dikatakan sebagai manusia yang baik. Orang yang luhur ing pambudi, adalah orang yang bijaksana. Sedangkan orang yang asor bebudene tidak
hanya orang yang bodoh belaka, akan tetapi juga berbahaya. Budi
mempunyai arti yang luas yang meliputi seluruh pribadi manusia, yang
menggambarkan individualitasnya, yang menjiwai segala aktifitasnya,
sehingga menjadikan ia orang yang berbudi atau tidak berbudi (Supadjar,
1993: 37).
Sunan
Kalijaga juga mengajarkan jalan menuntut ilmu menuju kesempurnaan
hidup. Ajaran yang terdapat dalam Serat Wali Sanga ini pada intinya
mengajarkan manusia agar dapat mencapai kedamaian dan ketenteraman.
Adapun caranya adalah dengan mengendalikan nafsu manusia seperti nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu lawwamah (mementingkan diri sendiri), dan nafsu muthma-innah (cenderung dekat kepada Tuhan). Menurut Sunan Kalijaga, ketika seseorang sudah bisa menyingkirkan tiga nafsu amarah, birahi dan lawwamah, maka ia akan sampai kepada muthma-innah.
Dalam
mengajarkan agama Islam tersebut, Sunan Kalijaga menggunakan sarana
masjid sebagai tempat penyampaian dakwah. Salah satu bukti arkeologisnya
adalah Masjid Demak. Menurut cerita, beliau berperan aktif dalam
pendirian masjid pertama di tanah Jawa itu. Sunan Kalijaga dikisahkan
membuat tiang tatal. Kisah tatal untuk sokoguru dalam
pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng.
Sunan Kalijaga dikisahkan mempertemukan puncak Masjid Demak dengan
Ka’bah setelah Masjid Demak berdiri. Selain itu, masih belum jelas benar
apakah kesembilan wali berada di tempat ini dalam satu waktu pada waktu
pembangunan Masjid Demak tersebut atau tidak.
Masjid Demak ini sampai kini masih dikunjungi muslim dari seluruh Nusantara. Berdasarkan candra sengkala lawang trus gunaning janma
yang bermakna angka 1399 tahun Çaka ini diketahui bahwa masjid ini
didirikan pada tahun 1477 TU. Dalam perkembangannya, masjid ini menjadi
pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya
menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah
pedalaman.
Nancy Florida dari Michigan University, USA, menulis tentang pendirian Masjid Demak sebagai berikut.
“The
establishment of the Demak Mosque by the Walis as an heirloom, meant to
embody in it their enduring legacy for Islamic kingship in Java. It was
also a monument that would stand permanently as a concrete material
site both for pilgrimage and of supernatural power. It was to be the
sacred post of power of the realism of Java and, at the same time, a
talisman, a pusaka, for the rulers of that realism (Djamil, 2000)”.
Masjid
Demak bukan saja sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ajang
pendidikan mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini
belum menemukan bentuknya yang final.
Sunan
Kalijaga tidak hanya berperan dalam bidang agama, melainkan juga dalam
politik pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan di depan, kiprah beliau di
bidang politik dimulai sejak awal berdirinya Kasultanan Demak sampai
akhir dari Kasultanan tersebut. Sunan Kalijaga nampaknya menjadi orang
penting di Kerajaan Demak. Pada masa pemerintahan Raja Trenggana ia
cukup mendapat tempat, terutama karena ia adalah seorang keturunan
bangsawan tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan imam besar Masjid Demak
(kelak bernama Sunan Kudus) menyingkir dan mendirikan masjid sendiri di
Kudus. Sunan Kalijaga kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Demak
menggantikan Sunan Kudus.
Kapan
Sunan Kalijaga wafat, sampai hari ini belum jelas. Keterangan yang ada
adalah bahwa Sunan Kalijaga hidup diperkirakan hidup selama sekitar 150
tahun. Demikian pula halnya dengan letak makam Sunan Kalijaga. Namun,
sebagian besar masyarakat percaya bahwa makam Sunan Kalijaga berada di
Desa Kadilangu, Kecamatan Kota, Kabupaten Demak, tepatnya sebelah timur
laut alun-alun kota Demak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar