Halaman

Senin, 11 Februari 2013

Sunan Kudus

Menurut H.J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud (1985), Sunan Kudus yang bernama Ja’far Shadiq adalah salah satu imam masjid Kerajaan Demak. Dalam berita tradisi dituturkan bahwa Masjid Demak pernah memiliki lima orang imam, dua di antaranya adalah Pengulu Rahmatullah dari Undung (sering dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung) dan Sunan Kudus. Sunan Kudus adalah putera dari Sunan Ngudung dari perkawinannya dengan Syarifah yang dikenal sebagai cucu Sunan Ampel (Wiranto dan Saworiyanto). Dalam Hikayat Hasanuddin disebutkan bahwa ayah dan anak ini dikenal sebagai ahli agama dan penyebar agama Islam yang gigih. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq adalah ulama besar, yang bertugas melakukan syiar Islam di sekitar daerah Kudus, Jawa Tengah.
Beliau lahir pada pertengahan abad XV TU atau IX H. Ayahnya bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, Blora. Beliau masih mempunyai garis keturunan dengan Husein bin Ali. Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel, sehingga masih ada hubungan pertalian darah (Ensiklopedi Islam, 1985).
Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Kudus adalah imam kelima Masjid Demak pada akhir masa Sultan Trenggana dan pada awal masa Sultan Prawata. Masih menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Kudus pindah dari Demak dan “mendirikan” Kota Kudus setelah ada perbedaan pendapat dengan Sultan Demak dalam penentuan tanggal awal bulan Puasa.
BIOGRAFI (2)Belum jelas kapan persisnya Ja’far Shadiq tiba di Kudus. Pada waktu Jafar Shadiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan Tajug adalah Kyai Telingsing, yaitu sebutan orang Jawa kepada The Ling Sing seorang Cina beragama Islam (Salam, 1977).
Cerita ini menunjukkan bahwa pemukiman itu sudah ada sebelum kedatangan Ja’far Shadiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shadiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shadiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shadiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).

Mereka sekaligus juga prajurit yang ikut bersama-sama Ja’far Shadiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang bekerja dengan Ja’far Shadiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shadiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah mengadakan acara bedhug dhandhang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh bedug bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Sekarang ini, acara bedhug dhandhang masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Akan tetapi, mereka bukan hendak mendengakan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai panganan yang dijajakan para pedagang musiman (Wiranto dan Sawariyanto, 2001).
Dalam cerita tutur yang masih hidup di kalangan masyarakat antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu Sunan Kudus pergi haji serta bermukim di sana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis (Jawa: gudigen), sehingga oleh kawan-kawan beliau Sunan Kudus dihina, tetapi karena kesaktiannya, timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Wabah itupun menjadi reda kembali karena dihentikan oleh Sunan Kudus. Atas jasa beliau, amir dari Negeri Arab itu pun berkenan untuk memberikan hadiah kepada beliau sebagai pembalas jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apa pun juga. Beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang-kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus (Solichin, 1977).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar