Halaman

Senin, 11 Februari 2013

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putera dari Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama menjadi Raden Sahur, sedangkan ibunya bernama Dewi Nawangrum.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1430-an TU. Semasa mudanya Sunan Kalijaga mempunyai nama Raden Sa’id atau lebih dikenal dengan Jaka Sa’id. Sunan Kalijaga diceritakan hidup dalam empat era dekade pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478 TU), Kasultanan Demak (1481-1546 TU), Kasultanan Pajang (1546-1568 TU), dan awal pemerintahan Mataram (tahun 1580-an TU).
Kisah masa muda Raden Sa’id ada dua versi. Menurut versi pertama, pada waktu masih kecil Raden Sa’id sudah disuruh mempelajari agama Islam oleh ayahnya di Tuban. Akan tetapi, karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama itu, maka jiwa Raden Sa’id memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya sengsara, sementara bangsawan Tuban hidup berfoya-foya. Pejabat kadipaten menarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena dan para prajurit kadipaten menghardik rakyat kecil dengan sewenang-wenang. Ketika ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang miskin pedesaan, maka pada waktu malam, ia sering mengambil sumber bahan makanan dari gudang kadipaten dan memberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002: 74).
Lama kelamaan tindakan Raden Sa’id itu diketahui oleh ayahnya, sehingga ia mendapat hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang pasti. Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi. Di hutan itu, ia menjadi seorang yang berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil dan hasil rampokannya diberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002:78).
Versi kedua menyatakan bahwa Raden Sa’id benar-benar seorang yang nakal sejak kecil dan kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan membunuh tanpa segan. Ia berjudi ke mana-mana. Setiap habis botoh-nya ia merampok kepada penduduk. Selain itu digambarkan Raden Sahid adalah seorang yang sangat sakti. Karena kesaktianya beliau mendapat julukan berandal Lokajaya (Marsono, 1996).
Pada suatu ketika, Lokajaya merampok Sunan Bonang di hutan. Namun, ia bertekuk lutut sebab Sunan Bonang sangat sakti. Dia lalu berguru kepada Sunan Bonang. Setelah mendapat ilmu dari Sunan Bonang, beliau pulang ke Tuban, akan tetapi ayahnya menolak kehadirannya.
Raden Sa’id kemudian kembali kepada Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menyuruh Raden Sa’id untuk bertapa. Setelah bertapa, dia diberi pelajaran ilmu agama oleh Sunan Bonang. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam sebuah perahu berwarna putih. Perahu itu dikatakan sebagai pemberian Nabi Khidir. Setamat Sunan Bonang memberi pelajaran pada Raden Sa’id, beliau memberi Raden Sa’id gelar Sunan Kalijaga.
Jalan hidup sunan ini tercantum dalam berbagai naskah kuna dengan versi yang berbeda-beda pula. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga. Ada yang menyatakan asalnya dari kata jaga dan kali. Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di tepi sungai. Pengertian ini umumnya disebut di dalam babad, misalnya Babad Banten, Babad Tanah Jawi, Babad Tanah Djawi jilid II, dan Babad Demak.
Ada juga yang menulis, kata Kalijaga berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Di dalam Babad Cirebon diceritakan, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 km arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.
Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati sengaja menguji Sunan Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudhu. Sunan Kalijaga sendiri tidak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ‘’ojo gumunan lan kagetan ‘’ yang artinya jangan mudah heran dan terkejut. Selanjutnya, Sunan Kalijaga menyulap emas tersebut menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudlu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Beliau pun kemudian menganugerahkan adiknya, Siti Zaenab, untuk diperisteri Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon selama beberapa tahun.
Dalam perjalanan hidupnya selanjutnya, Sunan Kalijaga diceritakan mengembara sampai ke Bintoro, Demak. Beliau sangat gigih membantu perjuangan Sultan Fatah dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Raden Fatah adalah pendiri kerajaan Islam di Demak pasca keruntuhan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V. Sebagai imbalan atas bantuan yang diberikan oleh Sunan Kalijaga, Sultan Fatah memberikan bumi Kadilangu sebagai tanah perdikan kepada Sunan Kalijaga.
Di Kadilangu, daerah Demak, Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Isteri Sunan Kalijaga yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, puteri Maulana Ishaq. Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah mempunyai tiga orang putera yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Ruqayah dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal karena kesaktian dan kecerdasannya. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat. Cara beliau berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain. Ia dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam mempraktikkan pengajaran syariat Islam banyak dicampuri dengan unsur-unsur adat lama dan cenderung berkompromi dengan kepercayaan pra Islam, misalnya melalui wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik.
Sunan Kalijaga terkenal pandai mendalang. Sebagai dalang, Sunan Kalijaga dikenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan pagelaran-pagelaran wayang kulit dengan upah berupa Jimat Kalimasada atau ucapan Kalimat Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan asal yang memanggil itu mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. (Siswoharsoyo, 1957).
Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata yang bernuansa Hindu, melainkan menggubah beberapa lakon wayang untuk keperluan dakwah Islam. Kisah-kisah ciptaan Sunan Kalijaga ini di antaranya adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, dan Petruk Dadi Ratu. Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari Kalimat Syahadat. Lakon Jimat Kalimasada inilah yang paling sering dia pentaskan. Dengan lakon ini Sunan Kalijaga mengajak orang-orang untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama Islam. Lakon Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir (Siswoharsoyo, 1957).
Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang beber berupa kain bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa digerakkan. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit kerbau. Bentuknya dikembangkan dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak.
Pada mulanya penggambaran tokoh wayang yang mirip manusia dinilai bertentangan dengan syara’ oleh sebagian ulama. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah menjadi lukisan yang menghadap ke samping. Dahulu sebelum memakai pahatan pada bagian mata, telinga, perhiasan, dan lain-lainnya, wayang hanya digambar saja. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan bentuk manusia sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud wayang melanggar hukum Islam. Selain itu, atas saran para wali, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong sebagai tokoh Punakawan yang lucu. Kadangkala, ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok (Efendy Zarkasi, 1977: 28-29).
Ada peneliti yang mengatakan bahwa Semar dari kata Arab simaar atau ismarun artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain yakni Ismaya, yang berasal dari kata asma-ku atau simbol kemantapan dan keteguhan. Adapun maksudnya adalah ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh Panakawan lain yakni anak Semar, Nala Gareng. Kata nâla qarîn artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini serupa dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka menyembah Allah swt (Endraswara, 2003: 105).
Di samping terus menyebarkan kebaikan, umat Islam juga harus mampu seperti tokoh Petruk dan Bagong. Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau nahi munkar. Bagong berasal dari kata baghâ yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah. Harus berani melawan siapa pun yang zalim (Endraswara, 2003: 105).
Selanjutnya disebutkan bahwa bentuk wayang dilengkapi dengan hiasan­hiasan seperti kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong (hiasan pada pinggang), dan jamang (hiasan pada kepala). Penyempurnaan bentuk ini dilakukan oleh Sunan Giri, sedangkan yang mengarang lakon wayang dan suluknya adalah Ratu Tunggal di Giri tatkala mewakili Istana Demak tahun 1478 Çaka. Dimulainya wayang pahat bergaris-garis gambir (garis-garis lembut pada rambut misalnya) itu adalah atas perintah Raden Trenggana Kemudian pada zaman Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya Raja Pajang, wayang dipahat gayaman, tetapi tangan masih sambung dengan badan. Wayang ditatah halus benar sejak jaman Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Mataram tahun 1541 Çaka (Zarkasi, 1977: 29-30).
Sunan Kalijaga juga melakukan dakwah melalui kidung. Kidung Rumeksa ing Wengi merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam “kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Dakwah itu dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dhandhanggula dan seolah-olah abadi sampai saat ini. Hingga saat ini, orang-orang pedesaan masih banyak yang hapal dan mengamalkan syair kidung ini. Sebagai warisan kepada anak cucu, nasihat dalam bentuk tembang lebih langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal penggubahnya, kidung ini telah menjadi milik rakyat.
Fungsi kidung Rumeksa ing Wengi ini bagi rakyat Jawa adalah : (a) penolak bala di malam hari, seperti teluh, tenung, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan bilahi; (b) pembebas semua denda; (c) penyembuh penyakit, termasuk gila; (d) pembebas bencana; (e) mempercepat jodoh; (f) doa menang perang; (g) penolak hama tanaman; (h) memperlancar mencapai cita-cita luhur. Nafas dakwah yang tersurat dalam kidung tersebut adalah (a) disebutnya nama Allah, malaikat, rasul dan nabi-nabi, serta keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad seperti Baginda Ali, Usman, Abu Bakar, Umar, Aminah dan Fatimah; (b) disebutnya istilah-istilah seperti puasa, subuh, sabar, subur, syukur, insya Allah, dzat, malaikat, nabi, rasul, dan syara’. Jadi secara maknawi kidung ini merupakan dakwah Islam yang sangat kental yang membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah guru spiritual rakyat Jawa. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai pencipta tembang Ilir-ilir yang masih populer hingga saat ini. Adapun syairnya sebagai berikut :
Ilir-ilir
Ilir-ilir tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
bocah angon penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Terjemahan :
Ilir-ilir
Ilir-ilir tanaman sudah bersemi
tampak menghijau ibarat penganten baru
wahai penggembala panjatlah blimbing itu
meski licin panjatlah untuk mencuci kain
kain yang sedang robek pinggirnya
Jahitlah dan tamballah untuk
menghadap nanti sore
mumpung bulan terang dan lebar tempatnya.

Lagu Ilir-ilir di atas, memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan, amal itu berguna untuk bekal di hari akhir. Kesempatan hidup di dunia ini harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan. Jangan hendak membunuh nanti akan berganti dibunuh. Pada intinya semua yang dilakukan manusia itu ada balasannya.
Cara dakwah Sunan Kalijaga yang lain adalah melalui bidang karawitan. Hal ini diketahui dari gamelan yang diduga sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Gamelan-gamelan ini diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Madu. Kini, gamelan-gamelan, yang dikenal sebagai gamelan Sekaten, itu disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta, seiring dengan berpindahnya Islam ke Mataram (Handoko, 2001).
Sunan Kalijaga juga mengganti puja-puji dalam sesaji yang biasa dilakukan umat Hindu pada waktu itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci al-Quran. Di awal syiarnya, Sunan Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Husein Jayadiningrat, Sunan Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang dan Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di Palembang itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Setelah beberapa lama di Palembang, Sunan Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa oleh Syeh Maulana Maghribi. Babad Cirebon menceritakan, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.
Sunan Kalijaga adalah seorang sufi yang ajaran-ajarannya diikuti oleh para penguasa waktu itu. Sunan Kalijaga mengajarkan sikap narima ing pandum yang diurainya menjadi lima sikap yakni rela, narima, temen, sabar dan budi luhur . Kelima sifat itu sebenarnya bersumber dari ajaran agama Islam yakni : rela dari ridha atau ikhlas, narima dari qana’ah, temen dari sifat amanah, sabar dari kata shabar, dan budi luhur adalah al-akhlak al-karimah. Tentang budi luhur, kata budi berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti kemampuan, atau kecerdasan otak (Gonda, 1925: 56). Salah satu ciri satria utama adalah alus ing budi. Demikian pula budi pekerti luhur syarat untuk dikatakan sebagai manusia yang baik. Orang yang luhur ing pambudi, adalah orang yang bijaksana. Sedangkan orang yang asor bebudene tidak hanya orang yang bodoh belaka, akan tetapi juga berbahaya. Budi mempunyai arti yang luas yang meliputi seluruh pribadi manusia, yang menggambarkan individualitasnya, yang menjiwai segala aktifitasnya, sehingga menjadikan ia orang yang berbudi atau tidak berbudi (Supadjar, 1993: 37).
Sunan Kalijaga juga mengajarkan jalan menuntut ilmu menuju kesempurnaan hidup. Ajaran yang terdapat dalam Serat Wali Sanga ini pada intinya mengajarkan manusia agar dapat mencapai kedamaian dan ketenteraman. Adapun caranya adalah dengan mengendalikan nafsu manusia seperti nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu lawwamah (mementingkan diri sendiri), dan nafsu muthma-innah (cenderung dekat kepada Tuhan). Menurut Sunan Kalijaga, ketika seseorang sudah bisa menyingkirkan tiga nafsu amarah, birahi dan lawwamah, maka ia akan sampai kepada muthma-innah.
Dalam mengajarkan agama Islam tersebut, Sunan Kalijaga menggunakan sarana masjid sebagai tempat penyampaian dakwah. Salah satu bukti arkeologisnya adalah Masjid Demak. Menurut cerita, beliau berperan aktif dalam pendirian masjid pertama di tanah Jawa itu. Sunan Kalijaga dikisahkan membuat tiang tatal. Kisah tatal untuk sokoguru dalam pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Sunan Kalijaga dikisahkan mempertemukan puncak Masjid Demak dengan Ka’bah setelah Masjid Demak berdiri. Selain itu, masih belum jelas benar apakah kesembilan wali berada di tempat ini dalam satu waktu pada waktu pembangunan Masjid Demak tersebut atau tidak.
Masjid Demak ini sampai kini masih dikunjungi muslim dari seluruh Nusantara. Berdasarkan candra sengkala lawang trus gunaning janma yang bermakna angka 1399 tahun Çaka ini diketahui bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1477 TU. Dalam perkembangannya, masjid ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah pedalaman.
Nancy Florida dari Michigan University, USA, menulis tentang pendirian Masjid Demak sebagai berikut.
The establishment of the Demak Mosque by the Walis as an heirloom, meant to embody in it their enduring legacy for Islamic kingship in Java. It was also a monument that would stand permanently as a concrete material site both for pilgrimage and of supernatural power. It was to be the sacred post of power of the realism of Java and, at the same time, a talisman, a pusaka, for the rulers of that realism (Djamil, 2000)”.

Masjid Demak bukan saja sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan bentuknya yang final.
Sunan Kalijaga tidak hanya berperan dalam bidang agama, melainkan juga dalam politik pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan di depan, kiprah beliau di bidang politik dimulai sejak awal berdirinya Kasultanan Demak sampai akhir dari Kasultanan tersebut. Sunan Kalijaga nampaknya menjadi orang penting di Kerajaan Demak. Pada masa pemerintahan Raja Trenggana ia cukup mendapat tempat, terutama karena ia adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan imam besar Masjid Demak (kelak bernama Sunan Kudus) menyingkir dan mendirikan masjid sendiri di Kudus. Sunan Kalijaga kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Demak menggantikan Sunan Kudus.
Kapan Sunan Kalijaga wafat, sampai hari ini belum jelas. Keterangan yang ada adalah bahwa Sunan Kalijaga hidup diperkirakan hidup selama sekitar 150 tahun. Demikian pula halnya dengan letak makam Sunan Kalijaga. Namun, sebagian besar masyarakat percaya bahwa makam Sunan Kalijaga berada di Desa Kadilangu, Kecamatan Kota, Kabupaten Demak, tepatnya sebelah timur laut alun-alun kota Demak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar